BERITA KESEHATAN BERITA UNIK

Hubungan Asmara Penting untuk Memiliki Titik Buta

Hubungan Asmara Penting untuk Memiliki Titik Buta

Hubungan Asmara Penting untuk Memiliki Titik Buta

KORANPALAPA, Hubungan Asmara Penting untuk Memiliki Titik Buta. Dalam sebuah hubungan berkomitmen, biasanya pasangan akan tetap bersama meski ada ketidaksempurnaan di antara mereka.

Kendati demikian, tak jarang salah satu individu khawatir bahwa ada sesuatu yang ia lewatkan dari pasangannya namun patut diperhatikan.

Misalnya, saat pasangan dermawan dan sangat “lunak” ketika kerabat atau temannya meminta pinjaman.

Meski niatnya sangat bagus dan mulia, di sisi lain kita khawatir karena anggaran rumah tangga mungkin tak dapat mendukung niat tersebut.

Memang, semakin lama bersama, semakin banyak persepsi tentang pasangan yang mulai menyatu dengan persepsi kita tentang diri sendiri.

Hubungan komitmen jangka panjang tentu akan melibatkan tumpang tindih identitas individu sampai pada titik di mana banyak batas diri dan pasangan menghilang, layaknya sebuah tiitik buta.

Saat itulah, kita mungkin merasakan adanya kebutuhan yang kuat untuk melihat pasangan berbuat baik, seperti kita melihat diri sendiri.

Pasalnya, ada banyak bukti dalam psikologi yang mengungkapkan. Kebanyakan orang yang tidak depresi cenderung memiliki bias positif dan mementingkan diri sendiri dalam mengevaluasi perilakunya sendiri.

Lalu, semakin banyak identitas kita menyatu dengan pasangan, tentu semakin bias pula diri kita, sehingga mengganggu penilaian akurat kita tentang perilaku pasangan.

Konektivitas relasional dan penggabungan identitas

“konektivitas relasional” mulai muncul ketika pasangan membangun hubungan dengan “keadaan psikis dari yang lain.”

Mendefinisikan rasa keintiman ini sebagai “konstruksi multidimensi dari keterhubungan pasangan” dengan persahabatan timbal balik, keintiman, dan rasa memiliki sebagai kuncinya.

Pertanyaannya, apakah rasa konektivitas relasional yang tinggi memengaruhi kepuasan kita dengan pasangan?

Lalu, apakah lebih baik memiliki konektivitas relasional, dan titik buta daripada konsepsi pasangan yang lebih berbasis realitas?

Bukankah lebih baik fokus pada proses yang dapat mempertahankan kepuasan hubungan, seperti kemampuan untuk berkomunikasi. Daripada pada beberapa rasa campuran identitas yang tidak berbentuk?

Nah, berikut jawabannya.

Seperti yang ditunjukkan oleh penulis, tampaknya memang ada perbedaan antara kepuasan dan konektivitas, membuat keduanya tidak selalu setara dalam hal memahami esensi dari hubungan yang baik.

Model komunikasi kepuasan hubungan standar, rupanya memberikan pemahaman “tipis” tentang hubungan suatu pasangan. Artinya, hanya ditunjukkan sekilas saja.

Sementara itu, orang-orang mungkin mengaku puas dengan hidupnya, meski tidak merasa bahwa hidup mereka memberikan makna.

Lalu, pasangan yang berkomunikasi dengan baik mungkin tidak memiliki ikatan “dalam” yang menyatukan identitas mereka, sehingga tidak pernah benar-benar mengalami perasaan yang lebih mendalam, meski tengah berjuang untuk tujuan hidup yang sama.

Hubungan Asmara Penting untuk Memiliki Titik Buta

Menguji model kepuasan konektivitas relasional

Untuk membuktikan bahwa konektivitas dan kepuasan relasional menandakan tingkat keintiman yang berbeda, tim peneliti menguji evaluasi ikatan pasangan dengan sampel internasional dari 615 pasangan berusia rata-rata 46 tahun (berkisar antara 18-89).

Lalu, sebagian besar responden (84 persen), berada dalam hubungan heteroseksual, dan rata-rata telah 19 tahun bersama.

Untuk mengukur kepuasan hubungan itu, peneliti menggunakan kuesioner empat item dengan peringkat item enam poin, seperti “secara umum, seberapa puaskah Anda dengan hubungan Anda?”

Lalu, untuk memanfaatkan konektivitas relasional, yang didefinisikan sebagai melibatkan rasa memiliki, persahabatan, dan keintiman, peneliti mengadaptasi beberapa tindakan yang diyakini sesuai dengan itu.

Misalnya, “saya merasa dicintai dan diperhatikan dalam hubungan ini”, “saya dan pasangan saya berbagi banyak kenangan positif”, dan “sejauh mana Anda merasa bahwa Anda dan pasangan Anda adalah satu?”

Jika dilihat, memang ada perbedaan antara ukuran kepuasan “tipis” dan yang lebih dalam, sehingga mengharuskan kita untuk memikirkan hubungan kita sebagai pengalaman bersama yang komunal.

Berbagai ukuran hubungan lain memungkinkan peneliti untuk membedakan dua aspek konseptual yang berbeda. Dari fungsi pasangan di bidang-bidang seperti resolusi konflik, ambivalensi, dan “pemeliharaan,”serta kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pasangan.

Alat ukur lain juga meminta pasangan untuk menilai satu sama lain dengan dasar optimisme, kasih sayang, dan kerendahan hati.

Baca juga: Kekuatan Bahasa Cinta Dalam Hubungan “Love Language”

Tim peneliti juga memberikan langkah-langkah yang meminta agar individu menilai kebahagiaan dan tujuan hidup mereka sendiri.

Beralih ke temuan, penulis menggunakan konektivitas dan ukuran kepuasan untuk mengategorikan pasangan menurut kombinasi skor tinggi dan rendah yang menghasilkan empat kategori:

  • Berkembang: tinggi pada kepuasan dan konektivitas
  • Mendekam: rendah pada kepuasan dan konektivitas
  • Terhubung, kurang puas: konektivitas tinggi tetapi kepuasan rendah
  • Puas, kurang terhubung: konektivitas rendah tetapi kepuasan tinggi

Jika berada di kuadran yang berkembang, berdasarkan data sampel penelitian, seseorang cenderung akan mendapat skor lebih tinggi pada semua tolak ukur yang tergunakan dalam penelitian ini.

Termasuk pada bagian yang memanfaatkan gejala depresi individu.

Sebaliknya, pasangan dalam kategori mendekam mendapat skor terendah pada tolak ukur hasil penelitian.

Hasilnya, konsisten dengan prediksi tim peneliti, mereka yang berada dalam kelompok kepuasan rendah konektivitas tinggi memang mencetak skor lebih tinggi pada berbagai tolak ukur lain.

Capaian ini termasuk komitmen yang lebih kuat untuk hubungan, lebih fokus pada pasangan daripada diri sendiri, dan peningkatan waktu bersama dalam kegiatan yang bermakna.

Juga, lebih sedikit ambiguitas tentang hubungan, dan kecenderungan yang lebih besar untuk melihat pasangannya sebagai orang yang berbudi luhur.

Mengapa titik buta bermanfaat bagi hubungan?

Jika melihat temuan terakhir ini, kita dapat melihat, pasangan yang merasa identitas mereka tergabungkan dengan cara yang sehat dan terhubung kuat juga cenderung melihat pasangan mereka secara lebih positif.

Baik benar atau salah, pasangan yang sangat terhubung akan memiliki perkiraan tinggi tentang pasangan mereka sebagai individu yang berbudi luhur.

Lalu, meski memang secara umum di temukan bahwa semakin terhubung, semakin puas pula hubungan, dengan memisahkan faktor-faktor tersebut, peneliti dapat menetapkan perbedaan utama ini dalam kerangka dasar hubungan pasangan.

Seperti dalam penelitian tentang kepuasan individu dan rasa makna dalam hidup, hasil dari penelitian ini menjelaskan masalah dalam “paradoks yang mengerucutkan kebahagiaan”.

Artinya, jika masuk ke dalam hubungan, kita bertekad untuk menjadikannya sumber kebahagiaan atau kepuasan.

Keinginan untuk memiliki hubungan yang bahagia inilah yang menurut peneliti dapat mengarah ke dalam situasi aneh. Di mana pernikahan lebih terhargai dan lebih rapuh daripada sebelumnya.

Dengan melihat secara kritis pada pasangan dan mengevaluasi apakah setiap aspek perilaku mereka “memuaskan,” mungkin kita akan merasa kalau pasangan tak sempurna.

Namun jika “menutup mata” kelemahan pasangan pun tak akan terlihat.

Singkatnya, mampu menutupi beberapa ketidaksempurnaan pasangan saat kita fokus pada masalah yang lebih dalam. Dan berkaitan dengan identitas bersama serta mutualitas, mungkin butuhkan dalam hubungan, agar semakin berkembang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *